Indonesia sementara ini sedang berusaha untuk menjadikan negaranya sebagai salah satu dari 10 negara dengan ekonomi terbaik di dunia sebelum tahun 2045. Sebuah laporan McKinseyⁱ¹ memperkirakan bahwa sekitar 90 juta masyarakat Indonesia akan bergabung dengan kelas konsumen pada tahun 2030, jumlah ini merupakan jumlah yang lebih tinggi dari negara-negara berkembang lainnya kecuali China dan India. Selain itu, data milik pemerintah menunjukkan bahwa Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia diperkirakan tumbuh sebesar 5,2% pada tahun 2023. Menurut perkiraan Goldman Sachs, Indonesia akan menjadi salah satu dari 15 negara dengan PDB terbesar di dunia sebelum tahun 2030. Perekonomian Indonesia telah menunjukkan tren positif pada daya beli, urbanisasi yang cepat, dan pergeseran yang besar ke arah penggunaan internet. Oleh karena itu, banyak perusahaan Tekfin Fintech yang memantapkan posisinya di sektor jasa keuangan yang diharapkan tumbuh di tingkat pertumbuhan gabungan tahunan sebesar 10,5% .
BERTAMBAHNYA KEBUTUHAN UNTUK MODERNISASI
Terlepas dari pertumbuhan keuangan yang menjanjikan secara keseluruhan, pemulihan utang di Indonesia tidak mengalami peningkatan walaupun volume pinjaman meningkat. Nilai total pinjaman mengalami lonjakan sebesar 11,16% pada November 2022 dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2021. Selanjutnya, seperti halnya di India, bank dan lembaga keuangan lainnya juga menghadapi masalah gagal bayar pinjaman yang tinggi dan proses penagihan utang yang kuno dan manual.
Pandemi Covid-19 telah memperparah lonjakan jumlah gagal bayar pinjaman. Menurut laporan Skor dan Penilaian Kompleksitas Penagihan (Collection Complexity Score and Rating) pada tahun 2018 oleh grup asuransi kredit global Euler Hermes, Indonesia berada di peringkat ketujuh di antara negara-negara yang tingkat pengumpulan utangnya terbilang “parah”.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hal ini adalah berbagai tantangan yang terkait dengan penagihan dan pemulihan utang. Selain itu, ekonomi Indonesia yang terus dibayang-bayangi pinjaman berisiko tinggi disebabkan oleh peraturan yang rumit, sulitnya penerapan pedoman, keuangan rumah tangga yang rentan, infrastruktur digital yang tidak lengkap atau tidak ada untuk mendukung penagihan utang secara modern, kesulitan dalam melacak debitur, kurangnya strategi penagihan yang terintegrasi, dan peran terbatas dari sektor perbankan
Tantangan Yang Umum – Dasar Strategi Yang Menguntungkan
Sebelum membahas teknologi jenis apa yang bisa dimanfaatkan untuk mengubah landskap penagihan utang, penting untuk memahami beberapa masalah yang menghantui penagihan utang digital di Indonesia.
1.Peraturan yang rumit:
Laporan Euler Hermes telah menyebutkan bahwa praktik pembayaran, proses pengadilan, dan permasalahan-permasalahan lainnya yang terkait dengan penagihan utang di Indonesia sangatlah rumit dan tidak sejalan dengan praktik-praktik yang berlaku di negara-negara barat. Namun demikian, pada tahun 2020, pengadilan-pengadilan di Indonesia menetapkan penghapusan taktik penagihan utang yang kasar, sehingga membuat institusi pinjaman harus menghargai hak para peminjam.
Perubahan fundamental dalam infrastruktur keuangan dari ekonomi Indonesia dapat menjadi batu loncatan bagi digitalisasi untuk memperluas cakupannya. Penggunaan teknologi dapat menambah kreativitas mekanisme yang memungkinkan pemberi pinjaman untuk menagih secara sistematis dan terjadwal. Pendekatan yang berpusat pada pelanggan yang didukung oleh analitis data dapat memungkinkan pemberi pinjaman untuk lebih menaati infrastruktur peraturan yang sudah ada saat ini.
2. Ketidaksetaraan dalam pendapatan rumah tangga:
Penelitian telah mengkonfirmasi bahwa adanya keterkaitan erat antara stabilnya sistem keuangan dengan lemahnya keuangan rumah tanggal. Tinjauan Stabilitas Keuangan (FSR) pada Oktober 2017 yang dilakukan oleh Bank Indonesia menemukan bahwa tidak adanya pendekatan yang strategis dari pihak bank secara langsung mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Sesuai dengan laporan, sektor rumah tangga mencatatkan kenaikan utang yang gagal bayar (NPL) sebesar 1,5 % per tahun.
Selain itu, penurunan pertumbuhan ekonomi telah memperparah efek ketidaksetaraan pendapatan. Lemahnya sektor rumah tangga ini, ditambah dengan ketidaksetaraan pendapatan, secara natural menciptakan kebutuhan akan pinjaman. Kenaikan jumlah dan besaran semua jenis pinjaman membuat semakin dibutuhkannya mekanisme penagihan utang yang sangat fungsional dan juga komprehensif. Dengan menggunakan chanel digital dalam ekosistem seperti itu dapat membantu mendorong ekonomi bergerak menuju stabilisasi dan memberikan masyarakat rasa kebebasan keuangan, yang saat ini dirasakan masih kurang.
3. Infrastruktur digital yang kekurangan sumber daya dan belum ada:
Di Indonesia, penetrasi kartu kredit dan penggunaan pembayaran online masih sangat rendah, sehingga membuat penagihan utang menjadi rumit bagi bank dan perusahaan Fintech.
Analitik yang bersifat prediksi dan yang berasal dari kecerdasan buatan dapat dimanfaatkan untuk memiliki infrastruktur digital untuk penagihan utang yang tidak bermasalah dan efektif. Selain memperluas infrastruktur digital. Teknologi ini juga dapat mengelompokkan pelanggan berdasarkan para meter seperti kapasitas pengambilan risiko, dan kapasitas untuk membayar, dll, daripada secara agresif mengejar pelunasan melalui metodologi manual.
Negara seperti Indonesia, dimana penetrasi digitalnya rendah, memiliki peluang besar untuk meningkatkan kesadaran terhadap amannya transaksi online dan pemanfaatan solusi yang ramah pelanggan di tengah-tengah masyarakat. Namun demikian, mengembangkan strategi komunikasi yang dipersonalisasi dan selaras dengan preferensi masyarakat sangat penting untuk mencapai tujuan ini. Gangguan teknologi di area ini dapat mempercepat hasil sekaligus memastikan perputaran yang lebih baik.
4. Melacak Peminjam:
Banyak institusi keuangan di Indonesia terus menerus bergantung pada identifikasi dalam bentuk fisik, yang menjadi masalah bagi tim penagihan utang. Pelacakan peminjam menjadi sulit dan membuat pelacakan menjadi rumit (contohnya lokasi peminjam yang telah pindah alamat). Namun demikian, hal-hal ini berubah secara perlahan setelah KTP diubah menjadi E-KTP di Indonesia.
Manfaat digitalisasi dapat membuat banyak rintangan ini teratasi karena kecerdasan buatan dan analitik data dapat membantu institusi peminjaman untuk mengambil data peminjam yang akurat, termasuk pola pembayaran mereka di masa lampau, dan faktor-faktor psikologi lainnya yang berkontribusi terhadap meningkatnya gagal bayar peminjam. Selain itu, agen penagihan di lapangan dapat dibantu dengan operasi digital terkait dengan jarak, yang meningkatkan kinerja serta mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk memberikan perawatan terhadap operasi lapangan. Inovasi-inovasi seperti pemetaan rute cerdas, pelacakan pekerja di lapangan, dan manajemen kunjungan dapat mengubah praktik pelacakan peminjam yang rumit, panjang, dan tidak pasti.
5. Peluang untuk inklusi keuangan dan strategi yang disesuaikan
Bank dan perusahaan Fintech perlu mempertimbangkan kepekaan budaya basis pelanggan dan wilayah operasi mereka. Kebutuhan saat ini adalah penawaran yang disesuaikan sehingga menghormati pelanggannya dan budaya yang unik di daerah tersebut. Kebutuhan ini semakin diperparah dengan kurangnya inklusi keuangan secara keseluruhan dalam perekonomian Indonesia. Menurut World Economic Forum, Indonesia memiliki masyarakat yang tidak menggunakan bank terbesar ketiga di dunia dan indeks literasi keuangan serendah 40%. Hal ini dan tantangan demografi lainnya sangat terkait dengan masalah inklusi keuangan yang lebih besar.
Layanan keuangan digital menghadirkan peluang bagi pemberi pinjaman untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah yang timbul dari kurangnya inklusi keuangan, menyiapkan landasan yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Transformasi ini dapat membantu menciptakan ekosistem yang andal di mana penduduk Indonesia dan penyedia jasa keuangan dapat tumbuh dan mencapai infrastruktur ekonomi yang dibangun dengan baik.
Tanggung jawab sekarang ada pada penyedia layanan keuangan untuk membalikkan tren saat ini dengan melakukan tugas berat untuk memperluas proses dan kemampuan digital secara besar-besaran. Hal ini tidak hanya akan membantu menghadirkan prediktabilitas dan visibilitas yang sangat dibutuhkan dalam penagihan, tetapi juga akan membantu mengidentifikasi orang yang akan gagal bayar sejak awal, memungkinkan lembaga keuangan untuk menyesuaikan strategi penagihan mereka berdasarkan kategori pelanggan.
Mengingat masa depan penagihan utang adalah digital dan berbasis data, Credgenics, pelopor penagihan utang berbasis teknologi, memfasilitasi transformasi digital lanskap penagihan utang Indonesia. Credgenics sudah bekerja sama dengan beberapa pemberi pinjaman terkemuka di negara ini dan menambahkan kemampuan baru sesuai kebutuhan bisnis pemberi pinjaman. Platform pengumpulan utang berbasis SaaS yang didukung kecerdasan buatan menyediakan penagihan utang dari awal hingga akhir, menawarkan kecepatan, skalabilitas, efisiensi, dan memaksimalkan potensi pendekatan penjualan multi saluran otomatis – sehingga menjadi pengubah permainan untuk lanskap pinjaman Indonesia.