Perkembangan pesat pada teknologi keuangan selama beberapa tahun terakhir telah mengubah cara bagaimana orang-orang memanfaatkan layanan keuangan di berbagai negara dan telah mengubah persepsi perbankan dan keuangan. Dengan agenda transformatifnya, teknologi telah meningkatkan tingkat efektivitas, mempercepat pengadopsian, dan menyederhanakan berbagai praktik perbankan. Perpaduan antara bisnis dan teknologi keuangan juga melahirkan model-model layanan keuangan baru yang inovatif. Contoh kasusnya saat ini adalah maraknya skema Buy Now Pay Later (BNPL) yang sedang ramai digunakan di seluruh dunia.
Sistem Buy Now Pay Later telah membantu menutup kesenjangan pinjaman yang signifikan di Indonesia. Menurut laporan, penetrasi kartu kredit di Indonesia cukup rendah yaitu ada pada angka 6% di tahun 2021, dengan sekitar 65% dari 275 juta penduduk yang tetap tidak menggunakan jasa perbankan. Seiring dengan masyarakat Indonesia yang semakin beralih ke online dalam beberapa tahun terakhir, metode pembayaran digital seperti sistem Buy Now Pay Later memiliki daya tarik di kalangan konsumen. Peningkatan penggunaan sistem Buy Now Pay Later sangat didukung oleh penggunaan internet yang semakin meningkat, yang mencapai 68% pada tahun 2021. Angka ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara di Asia Tenggara dan diperkirakan akan mencapai 79% pada tahun 2025.
Peningkatan signifikan skema Buy Now Pay Later yang disebabkan oleh hal-hal berikut ini, yaitu konsumerisme yang meningkat, dorongan untuk beralih ke platform digital setelah pandemi, dan ketergantungan pada internet. Selain itu, pengeluaran rumah tangga yang ditentukan oleh beberapa faktor perilaku dan sosial ekonomi, sedang meningkat sehingga hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar konsumen dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Dengan 90 juta konsumen Indonesia yang diperkirakan akan bergabung dengan pasar konsumen sebelum tahun 2030 (Sumber: McKinsey & Company), penggunaan sistem pembayaran Buy Now Pay Later kemungkinan akan terus meningkat dengan CAGR sebesar 32,5% selama 2022-2028.
Sisi lain dari fenomena ini
Meskipun bagi pelanggan dapat membeli tanpa pikir panjang dan tanpa harus membayar dengan langsung merupakan hal yang menarik, pada kenyataannya Sistem Buy Now Pay Later memiliki peran penting terhadap meningkatnya utang konsumen rumah tangga di Indonesia.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, bank-bank di Indonesia telah menyediakan restrukturisasi pinjaman sejumlah Rp 695,3 triliun untuk 6,35 juta debitur. sementara itu menurut sebuah laporan yang ada, lebih dari 15 juta debitur sedang menunggu untuk restrukturisasi pinjaman sebesar Rp 1,37 kuadriliun ($96,03 miliar). Selain itu, gagal bayar pinjaman di Indonesia mencapai 11.953 miliar Dolar Amerika Serikat pada Agustus 2022.
Alasan kenaikan yang signifikan dalam skema Buy Now Pay Later (BNPL) sebagai Opsi Kredit yang Mudah
Di negara yang sebagian besar dari populasinya belum menggunakan jasa perbankan, pasar skema Buy Now Pay Later (BNPL) terus berkembang. Perubahan dalam sektor pinjaman ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Menurut Digital 2022 yaitu sebuah laporan tentang penggunaan perangkat dan layanan yang terhubung oleh masyarakat Indonesia, warga Indonesia yang menggunakan internet di adalah sekitar 73,7% dari total populasi pada awal tahun 2022. Dengan demikian, hal tersebut berarti telah terjadi perluasan di pasar kredit alternatif berbasis teknologi. Kewajiban menjaga jarak dan peran psikologis akibat pandemi semakin mendorong konsumen menuju pasar digital. Selain itu, Dibandingkan dengan kartu kredit dan pinjaman tradisional, sistem (BNPL) memungkinkan pelanggan untuk memilih opsi pelunasan dan angsurannya. Rasa aman semu ini yang timbul karena tidak harus membayar dengan langsung menambah ketergantungan terhadap sistem BNPL sebagai opsi kredit.
Kerentanan pada sektor rumah tangga akibat ketimpangan pendapatan juga menjadi pemicu masyarakat membutuhkan pinjaman. Karena pinjaman tradisional memiliki klausul pelunasan yang berlaku segera setelah pencairan, sistem Buy Now Pay Later (BNPL) menjadi pilihan yang pasti bagi konsumen. Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) Bank Indonesia pada Oktober 2017 mencatat bahwa sektor rumah tangga berkontribusi sebesar 1,50% pada kenaikan gagal bayar utang (NPL) setiap tahunnya.
Walaupun Indonesia sedang memperluas akses ke jasa keuangan, sebagian besar penduduknya masih belum melek finansial. Menurut survei Otoritas Jasa Keuangan 2019, Indonesia hanya ada pada angka 38,03% pada indeks literasi keuangan dan 76,19% pada indeks inklusi keuangan. Hal ini berarti bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tidak menyadari risiko yang terkait dengan pinjaman dari berbagai lembaga pinjaman atau pemanfaatan jangka panjang atas berbagai skema pinjaman. Untuk mengatasi kesenjangan yang timbul dari kurangnya literasi keuangan konsumen ini, para kreditur melirik permodalan.
Peluang Perubahan melalui Digitalisasi.
Dengan meningkatnya pengeluaran rumah tangga yang mengakibatkan volume pinjaman yang melonjak dan skema Buy Now Pay Later (BNPL) yang muncul sebagai metode yang disukai untuk mendapatkan kredit, lembaga pinjaman bergumul dengan penagihan. Dan, seperti lembaga-lembaga pinjaman yang serupa di India, mereka juga menghadapi masalah gagal bayar pinjaman (NPL) yang tinggi dan proses penagihan manual yang sudah tidak relevan.
Terdapat kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki proses pembayaran kembali utang, dengan cara yang tidak hanya sesuai dengan praktik etika, tetapi juga yang mempertimbangkan masalah debitur, memberikan solusi yang disesuaikan, dan membantu meningkatkan literasi keuangan.
Sementara pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesehatan finansial negaranya sambil memastikan bahwa jumlah gagal bayar utang berkurang, bank dan perusahaan Fintech mengakui banyaknya permintaan untuk memanfaatkan teknologi keuangan untuk merombak infrastruktur yang ada. Kecerdasan Buatan, Pembelajaran Mesin, dan kemampuan Big Data membantu memprediksi siapa yang akan mengalami gagal utang, pola perilaku peminjam, sejauh mana kemampuan mereka untuk membayar, dan respons mereka terhadap rangsangan seperti tekanan sosial-ekonomi. Dengan demikian, hal ini mengubah proses peminjaman pelanggan. Dengan mempertimbangkan semakin maraknya penggunaan internet, tidak ada waktu yang lebih baik daripada saat ini untuk menggunakan internet sebagai sarana pemanfaatan strategi digital untuk tujuan meningkatkan penagihan, melibatkan pelanggan, dan mencegah kerugian kredit. Seperti yang diharapkan, transformasi ini pasti akan memengaruhi kenaikan NPLA secara positif. Bank dan perusahaan Fintech dapat memanfaatkan momentum keuangan ini untuk mendapatkan keuntungan dan menggunakan strategi digital guna meningkatkan sistem penagihan, keterlibatannya dengan pelanggan mereka, mengurangi kerugian kredit dan NPLA.
Credgenics adalah pemimpin pasar dalam penagihan utang berbasis teknologi yang bekerja untuk memodernisasikan strategi dan mekanisme penagihan dengan bank, perusahaan pembiayaan non-perbankan, dan perusahaan Fintech terkemuka di Indonesia. Platform berbasis SaaS yang didukung AI telah membuktikan kemampuannya dengan membantu bank dan perusahaan Fintech untuk meningkatkan penagihan sebesar 25%, mengurangi biaya penagihan sebesar 40% dan waktu penagihan sebesar 30%, serta meningkatkan efisiensi dari segi hukum penyelesaian dengan litigasi sebesar 60% dan meningkatkan tingkat resolusi sebesar 20% . Selain itu, penggunaan Analisis Data Analysis dan Pembelajaran MesinMachine Learning yang inovatif oleh Credgenics telah membantu menjadikan proses yang berpusat pada pelanggan dan etika sebagai bagian tak terpisahkan dari mekanisme penagihan pinjaman. Pasar keuangan Indonesia memiliki kemungkinan yang tak terbatas untuk berkembang melalui otomatisasi, dan inovasi teknologi adalah jalan yang tepat untuk dapat memanfaatkan pasar kredit yang berkembang dengan sangat pesat.